Friday, November 21, 2014

Kursi Malaikat (mungkin)


" Maha Baik Allah, atas setiap harta berharga yang selalu dicurahkan tiada hentinya menyertai setiap cerita, yakni berupa makna "

Malam itu saya putuskan untuk pulang kerumah. Hanya karena percakapan singkat lewat telpon saat perut berteriak pasca jam kuliah ba’da magrib.
 
Saya  : "Assalammu’alaikum. Ibuk masak apa ? "
Ibuk  : "Wa’alaikumsalam. Masak terancam."

Ya, itu alasan kuat yang membuat saya ingin pulang secepatnya malam itu. Tak peduli malam, naik bis 2 jam yang dijamin gabakal nyaman karena berebut. Karena setiap cinta memaksa kita untuk melakukan sebuah perjuangan. Iya perjuangan saking cintanya sama masakan ibuk. Love mam *jadikangen*

Sesuai praduga, dari jauh bis sudah mengabarkan tanda tak manis. Nguatin hati “yang penting pulang” -sebenernya makna di dalamnya “yang penting makan”. Hahaa.

Dan Maha Baik Allah, ada satu kursi kosong yang sepertinya sudah dijaga malaikatNya buat saya. Alhamdulillah. Ya, perjuangan dimulai. Pasang masker, pilih playlist, pasang headset dan surfing. Keinget ada majalah online yang wajib saya baca.

Selama perjalanan yang gelap gulita berdesakan orang pada berdiri enggak dapet kursi. Awalnya saya cuek dan asyik surfing dengan majalah online itu. Hingga perjalanan sampai di daerah setelah Batu, saya melihat tepat di depan saya, sepertinya ada seorang ibu yang berdiri menggendong anak kecil. Reflek saya langsung berdiri, dan bermaksud mempersilahkan beliau duduk. Ini sih macem rasa hormat ke senior *soalnya saya belum punya anak* haha.
 
Nah, tapi belum sampai ibu itu duduk. Ada kakek paruh baya yang langsung menyerobot tempat duduk saya.  Hampir saja saya hendak menegur beliaunya karena sikapnya yang seenaknya sendiri. Tapi, saya urungkan, gara-gara enggak tega lihat wajahnya yang menyimpan lelah juga.

Ah, mana yang harus saya dahulukan ? Kakek paruh baya yang menyimpan lelah atau seorang ibu yang tengah berjuang menahan beban anak dalam peluknya? Dilema yang saya enggak tau mau bertanya kepada siapa. Belum sampai saya menemukan jawabannya, ibu tadi menatap saya dan berkata  “sudah mbak gapapa” dengan senyum pasrah. Saya hanya bisa tersenyum kikuk bingung harus berbuat apa dan merasa gagal. 
“Kok jadi gini sih ? kan maksdku baik, Allah. Tapi kenapa yang dapet kesempatan duduk justru beliau. Padahal ibu ini jauh membutuhkan. “

Singkat cerita, kemudian jiwa SKSD saya ber-onfire. Sok sokan ngajak ibu tadi ngobrol. Siapa tahu ibunya punya keponakan pengusaha, soleh, kaya, pinter yang ganteng. Ups, maksudnya siapa tahu ada ilmu yang bisa saya ambil. Nah. hehee

Saya      : “Adeknya cowok ya bu ?
Ibu-ibu  :“Iya, mbak. Tidur terus ini dari tadi”
Saya      :“Pules banget. Ibu sendiri aja?”
Ibu-ibu  :“Enggak kok mbak. Itu sama ayahnya”

Dalam hati, ada rasa lega yang memupuskan rasa setengah sebel ke kakek paruh baya tadi. Tiba-iba saja serasa ada yang Allah bisikkan dalam naluri lewat angin malam itu.
“Bayangin aja Put. Gimana nasib kakek paruh baya tadi kalau ibu ini yang duduk ? Betapa kasihannya beliau menjaga lelahnya. Sedangkan kalau ibu ini yang kelelahan, kan masih ada suaminya. Yang bakal gantiin gendong anaknya. Nah, kalo kakek paruh baya tadin ? Siapa yang mau menyangga lelahnya ?”
Sejenak saya merunduk. Subhanallah walhamdulillah wala ilahaillahu Allahuakbar.
 
Beberapa saat kemudian, kakek paruh baya tadi berdiri dan hendak turun, dengan mulianya beliau mempersilahkan ibu itu untuk menempati kursinya. Saya hanya tersenyum setengah tercengang.
Tinggallah saya yang berdiri sendirian. Namun ajaibnya lagi, ada bapak-bapak yang menepuk pundak saya dan mempersilahkan saya menempati tempat duduknya. MasyaAllah. Semakin saja saya dibikin bungkam dengan kuasaNya.

Dari kejadian malam itu saya belajar banyak hal,

"Betapa besar letak keadilannya. Terkadang kita memang tak akan sanggup untuk sekedar menilai dan menimbang keadilan Allah. Penimbangannya jauh diluar batasan dan jangkauan pikiran kita. Allah selalu saja punya rahasia dibalik keadilanNya.
Dan memang niatan baik kita terkadang adan kalanya tak sejalan sesuai dengan takdirnya, sekalipun itu baik. Karena Allah lebih tau mana yang terbaik. Dan manusia hanya mampu berusaha sebaik dan sebisa mungkin. Sedang selebihnya, takdir sudah menjadi hak prerogratifnya Allah. Dibalik semua itupun, Allah tak akan pernah berhianat dan lupa atas janjinya, akan balasan setiap butir kebaikan yang kita lakukan. Sungguh, You are the greatest planner in the world, God "

0 comments:

Post a Comment